NIlai Penting Ikhlas

 


Ikhlas merupakan kunci dalam beramal dan beribadah. Melakukan segala sesuatu dengan ikhlas merupakan perbuatan terpuji. Bahkah ikhlas menjadi salah satu syarat diterimanya suatu amal ibadah, selain mencontoh Rasulullah saw. Begitu pentingnya keikhlasan, sehingga perlu untuk dihadirkan bahkan sejak awal hendak dilaksanakan suatu amal/ ibadah tersebut. Oleh karena itu, ikhlas biasanya terkait dengan niat sebagaimana hadis Nabi SAW  HR. Bukhari Muslim : 

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” 

A. Pengertian 
Dalam bahasa Arab, kata ikhlas merupakan bentuk dasar dari kata kerja akhlasha – yukhlishu yang mengandung arti mengerjakan sesuatu dengan hati yang bersih, memurnikan, mengambil intisari sesuatu, memilih. 

Dalam Al Quran kata ikhlas digunakan untuk nama surat ke 112 yakni Al Ikhlas, yang isinya menekankan pemurnian penyembahan hanya kepada Allah swt (Tauhid). Selain itu, kata “akhlashu” juga terdapat dalam QS. An Nisa (4) : 146 

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللّٰهِ وَاَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ لِلّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَۗ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًا ١٤٦
"Kecuali, orang-orang yang bertobat, memperbaiki diri, berpegang teguh pada (agama) Allah, dan dengan ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah, mereka itu bersama orang-orang mukmin. Kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang mukmin."

Adapun kata “mukhlishan” terdapat pada QS. Al Zumar (39) : 11 
قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ ١١
"Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya."

Sedangkan dalam QS. Ghaafir (40) : 65, terdapat kata “Mukhlishiin”
 هُوَ الْحَيُّ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ فَادْعُوْهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ۗ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ٦٥
"Dialah yang hidup kekal, tidak ada tuhan selain Dia, maka berdoalah kepada-Nya dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."

Mencermati beberapa istilah yang digunakan dalam Al Quran, hampir semua bentuk kata Ikhlas  terkait dengan perilaku memurnikan ketaatan hanya kepada Allaah SWT saja. 

Oleh karena itu, secara terminology, beberapa ulama mendefisikan ikhlas  dengan pengertian sebagai berikut : 
Ikhlas adalah hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan dengan tujuan taqqorub kepada-Nya, serta mengesampingkan hal-hal selain Allah, baik berupa penghormatan, pujian, atau pun pandangan baik dari orang lain terhadap dirinya (Al Ghazali) 

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya” 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ikhlas berarti melakukan amalan/ ibadah dengan niatan murni hanya untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allaah SWT saja. 
 
B. Kriteria dan Tingkatan Ikhlas 
Ikhlas merupakan kebalikan dari sifat riya, yakni beramal bukan untuk Allah SWT. Karena ikhlas adalah amalan hati sehingga tidak mudah memahami apakah seseorang itu ikhlas atau riya. Oleh karena itu, Dzun Nuun Al Misri, menyebutkan 3 indikator ikhlas sebagai acuan introspeksi untuk diri masing-masing, yakni : 
1. Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain. 
2. Melupakan amalan kebaikan yang dulu pernah diperbuat 
3. Mengharap balasan dari amalan di akhirat (bukan di dunia) 

Dalam ayat-ayat Al Quran seringkali kita jumpai bahwa Allah swt kerap menjanjikan pahala, surga dan balasan kebaikan lainnya bagi hamba-hambaNya yang mengerjakan amalan kebaikan. Salahkah jika kita beramal dengan beharap sesuai atas apa yang sudah Allah SWT janjikan? 

Tidak salah, karena ada 3 ragam tingkatkan ikhlas, yakni : 
Tingkatan pertama atau tingkatan ikhlas terendah adalah ketika orang beribadah karena Allah namun memiliki harapan untuk mendapat imbalan duniawi dengan ibadah yang dilakukan tersebut. Misalnya, seseorang rajin menunaikan sholat dhuha dengan harapan agar mendapatkan kemudahan rejeki. 

Hal ini masih dianggap sebagai ibadah yang ikhlas namun, merupakan golongan ikhlas paling rendah. Sah-sah saja jika seseorang melakukan ibadah seperti contoh di atas. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia masih memiliki hasrat dan keinginan duniawi, dan diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk memanjatkan keinginan tersebut pada Allah. 

Selanjutnya, pengertian ikhlas tingkatan kedua yaitu orang yang melakukan amal ibadah karena Allah namun masih memiliki keinginan agar ibadahnya kelak bisa mendapatkan pahala besar dari Allah. Atau dia beribadah dengan harapan agar kelak di hari kiamat ia termasuk orang yang terselamatkan dan terlindungi dari berbagai bencana dan kerusakan yang mengerikan. 

Terakhir, ikhlas tingkatan paling tinggi adalah ketika seseorang melakukan amal ibadah tanpa adanya keinginan, dan hanya ingin melakukannya semata-mata karena Allah. Bahwa ia melakukan ibadah sebagai upaya untuk melakukan perintah yang diberikan oleh Allah, bukan untuk mencari pujian, harta, kecintaan, dan lain sebagainya. 
 
C. Pentingnya Ikhlas dalam Beramal 
1. Allah SWT hanya akan menerima amalan/ ibadah orang-orang yang ikhlas 
  إنَِّ اللَّهَ لَّ يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إلَِّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ 
 “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni hanya untuk-Nya, dan dicari wajah Allah dengan amalan tersebut.” (HR. An-Nasa’I no. 3140, dishahihkan AlAlbani) 
 
2. Ditakuti oleh syetan 
اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ ٤٠
“aku (syetan) akan menyesatkan kecuali hamba hamba Mu (Allah) yang ikhlas”. (QS Al Hijr : 40).  
Jelas dari ayat Al Qur’an tersebut bahwa orang yang berhati ikhlas tidak mampu digoda oleh syetan sehingga senantiasa berada ada jalan yang lurus. 
 
3. Pokok (dasar) Dari Amal Perbuatan 
Amal perbuatan dilakukan dengan fisik yang terlihat dan dengan hati yang hanya diketahui oleh Allah. Ikhlas berada di dalam hati manusia, jika memiliki pokok (dasar) yang baik maka imbalan baik pula yang akan diterima dan sebaliknya seperti ungkapan ulama Ibnu Qayim berikut “Amalan hati ialah pokok dan amalan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna.” (Badai’ul Fawaaid 3/224) 
 
4. Menjadikan amalan bernilai besar 
“Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat (ikhlas karena Allah) dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat (bukan karena Allah)”. (HR Imam Muslim).  
 
Tak perlu merasa kurang dengan pemberian Allah, manfaatkan sesedikit apapun yang kita punya untuk berbuat kebaikan di jalan Allah dengan niat yang ikhlas. 
 
5. Mendapatkan kelapangan hati 
Diantara keutamaan ikhlas adalah memiliki kelapangan dalam hatinya yang merupakan salah satu cara meningkatkan akhlak, ia tidak menjadikan dunia sebagai tujuan, melainkan berbuat kebaikan untuk mencari bekal di kehidupan akherat nanti sehingga ia sama sekali tidak bertujuan untuk mendapat sanjungan dari manusia. “Barang siapa menjadikan akherat sebagai tujuannya maka Allah akan menjadikan kekayaan dalam hatinya”. (HR At Tirmidzi). 
 
6. Mendapatkan naungan Allah SWT 
“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di hari kiamat….,seseorang yang bersedekah lalu ia sembunyikan dan seseorang yang berdzikir tatkala sendirian”. (HR Imam Muslim).  
 
Perhatikan diantara tujuh golongan, dua golongan yang disebutkan di atas adalah orang yang ikhlas yaitu yang sedekah dengan sembunyi sembunyi hingga tak seorang pun tau dan orang yang berdzikir saat sendiri jauh dari keramaian dan dia tidak mengharap sanjungan orang lain. 
 
D. Refleksi 
Silakan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : 
1. Saat ini, dalam beramal, tingkat keikhlasan mana yang kerap Anda hadirkan? 
2. Apakah kendala terbesar Anda untuk ikhlas? Dan bagaimana Anda mengatasinya?