Al-Qur'an menyatakan bahwa sebuah komunitas manusia di muka bumi dinyatakan: "Fi dlolalim mubin", manakala kehadiran Al Islam belum terwujud di tengah-tengah mereka. Sebagaimana diterangkan dalam ayat di bawah ini:
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata," (62:2)Dengan demikian sebelum terwujudnya Al-Islam, amaliyah setiap manusia dianggap nihil. Hal ini karena kehadiran para Nabi dan Rasul memiliki tugas pokok yaitu membersihkan kemusyrikan di tengah-tengah masyarakat.
“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. 39:65)
“Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS 14:18)
Mungkin kita akan menyatakan, tidaklah mengapa kita tidak menegakkan Al-Islam, yang penting kita sudah melakukan perilaku-perilaku ibadah keseharian seperti shalat, zakat, haji dan Iain-lain, yang penting adalah esensinya bukan substansinya. Namun mari kita perhatikan Al-Alamah Al-Mubarakfury, menerangkan bahwa:
“Masyarakat Arab jahiliyah itu memlliki akhlak-akhlak terpuji yang menjadi hiasan kehidupan mereka. antara lain: kedermawanan, memenuhi janji, kemuliaan jiwa dan keengganan menerima kehinaan dan kelaliman, pantang mundur, kelemah-lembutan dan suka menolong orang lain serta kesederhanaan pola hidup. Kesemuanya itu merupakan ajaran hidup dalam Islam, namun begitu, masyarakat ini oleh Alloh tetap dinyatakan fi dholalim mubin.”
Kita dapat mengambil contoh nyata dalam kasus Abu Thalib paman Rasulullah saw., dia adalah seorang pembela Nabi yang sangat utama, yang mana amaliyah Abu Thalib itu merupakan keutamaan yang sangat besar dalam Islam, tetapi karena dia tidak mau masuk ke dalam Al-Islam dan dipimpin Rasulullah saw, maka ia tetap dalam kesesatan.
Oleh karena itu eksistensi Al-Islam itu sendiri dan kehadiran kepemimpinan Nabi dan Rasul serta para pelanjut risalah mereka sendiri merupakan suatu ni'mat/kurnia/fadhal dari Sang Maha Pencipta kepada umat manusia. Karena dengan kepemimpinan Islam itu amaliyah manusia bernilai di sisi Alloh.
“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs 3:164)
Dengan demikian, jalan satu-satunya untuk keluar dari lembah kesesatan (jahiiiyah), dan untuk mendapatkan manna-ilah (kurnia Alloh) dan agar bernilainya amaliyah kita, maka harus tegaknya Al-Islam. Kalau manhaj (sistem) dan syariat Al-Islam belum tegak, maka kita wajib untuk menegakkannya dalam setiap sendi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat kita sendiri.
“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. 42:13)