Ma'asyiral muslimin rahimakumullah
Idul fitri berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر]. Id secara bahasa berasal dari kata aada - ya'uudu [arab: عاد - يعود], yang artinya kembali. Hari raya disebut 'id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A'rabi mengatakan,
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah [arab: العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).
Adapun untuk kata fitri sebetulnya secara bahasa agak berbeda pengertiannya dengan ftrah, Pertama, Kata Fitrah, Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَّق
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi menjelaskan makna fitrah,
الخلقة التي خلق عليها البشر
“Kondisi awal tercipta, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).
Dengan demikian, setiap manusia yang berkembang, dia dalam keadaan fitrah. Telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, namun kemudian mengalami gesekan dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut ajaran nasrani atau agama lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah keadaan suci tanpa dosa dan kesalahan.
Kedua, kata Fitri. Kata fitri berasal dari kata afthara - yufthiru [arab: أفطر - يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Ada banyak dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya, Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً ، ما عجّل النّاس الفطر ؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka. ” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadis hasan).
Dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan suci.
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka. ” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud 2324).
Lebih dari itu, menurut pakar bahasa, terutama dari Ibnu Mandzur, kata fithri (fa-tha-ra) setidaknnya mencakup enam hal penting, yaitu kesucian, kekuatan, jati diri, asal usul kejadian, memakai pakaian taqwa dan dinnul Islam. Maka bila digabung kata itu menjadi Idul Fitri, artinya kita berharap akan kembali ke kesucian diri kita, kembali ke asal usul kita, kembali ke jati diri kita, kembali memakai pakaian taqwa, kembali ke kekuatan kita dan kembali ke dinnul Islam.
Secara sederhana makna Idul Fitri dalam konteks Indonesia bermakna Hari Raya setelah berakhirnya Ramadhan, atau yang dalam Kamus Al-Maany dimaknai sebagai اَليَوْمُ اْلأوَّلُ الَّذِي يَبْدَأُ بِهِ الإفْطَارُ لِلصَّائِمِيْنَ (hari pertama bagi orang-orang yang berpuasa Ramadhan mulai kembali berbuka [dengan makan dan minum seperti di hari-hari biasa]. Apa saja makna Idul FItri bagi kita?
Pertama, Idul Fitri bermakna kembali kepada jiwa semangat dan sungguh-sungguh untuk menjaga dan melanjutkan amaliah-amaliah sunnah di bulan Ramadhan seperti menahan lisan dan anggota badan lainnya dari perkara-perkara yang tak berguna - apalagi perkara-perkara haram, memperbanyak sedekah, membiasakan shalat lail, merutinkan tadarus Al-Quran, dan sebagainya, maka itu berarti kita melakukan upaya peningkatan kualitas ruhani kita.
Peningkatan semacam itu sejalan dengan makna kata “Syawal” (شَوَّالُ) yang secara etimologis berasal dari kata “Syala” (شَالَ) yang berarti “irtafaá” (اِرْتَفَعَ) yang dalam bahasa Indonesia berarti “meningkatkan”.
Selanjutnya dengan memasuki bulan Syawal maka kita harus selalu menjaga agar amal amal kita tidak habis, yaitu dengan cara tidak menzalimi orang lain. Dalam hal ini Rasulullah shallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang kebangkrutan amal sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam sebuah berikut ini:
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟
Artinya, “Tahukah kalian siapakah orang yang mengalami kebangkrutan amal? Tanya Rasulullah kepada para sahabat. Mereka menjawab:
قَالُوْا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ
Artinya, “Para sahabat menjawab : Orang bangkrut menurut pendapat kami ialah mereka yang tiada mempunyai uang dan tiada pula mempunyai harta benda.” فَقَال Artinya, “Maka Nabi menjawab”:
“إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي، يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هٰذَا، وَقَذَفَ هٰذَا، وَأَكَلَ مَالَ هٰذَا، وَسَفَكَ دَمَ هٰذَا، وَضَرَبَ هٰذَا. فَيُعْطِى هٰذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهٰذَا مِنٰ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ، قَبْلَ أَنْ يَقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ”
Artinya, “Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku ialah mereka yang pada hari kiamat membawa amal kebaikan dari shalat, puasa, dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh (dan mencemarkan nama baik) orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum utangnya lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada mereka; Sesudah itu, mereka yang suka mencaci, menuduh, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain itu, akan dilemparkan ke dalam neraka.”
Disunnahkan setelah Ramadhan untuk berdoa agar diterima amal selama puasa Ramadhan. Mu'alla bin Fadl mengatakan:
كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم
“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadhan, berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka ketika bulan Ramadhan. ” (Lathaiful Ma ›arif, Ibnu Rajab, hal.264)
Karena itu, ketika sesama sesama kaum muslimin seusai ramadhan, mereka saling mendoakan, تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم “Semoga Allah menerima amal kami dan kalian”.
فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك . قال الحافظ : إسناده حسن .
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan
Inilah yang selayaknya kita tiru. Berdoa memohon kepada Allah agar amalnya diterima dan bukan memastikan amal kita diterima.
Kedua, sebenarnya ramadhan hanya bisa memperbaiki dosa yang kecil, dan bukan dosa besar. Dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ ، مُكَفِّرَاتٌ مَكجراتٌ مَريْر
“Antara shalat 5 waktu, jumatan ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga ramadhan berikutnya, akan menjadi kaffarah dosa yang dilakukan di antara amal ibadah itu, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Ahmad 9197 dan Muslim 233).
Ibadah besar seperti shalat lima waktu, jumat, dan puasa ramadhan, memang bisa menjadi kaffarah dan penebus dosa yang kita lakukan sebelumnya. Hanya saja, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan syarat:' selama dosa-dosa besar dijauhi. ' Adanya syarat ini menunjukkan bahwa amal ibadah yang masuk dalam hadis, tidak menggugurkan dosa besar dengan sendirinya. Yang bisa digugurkan hanyalah dosa kecil.
Lantas bagaimana dosa besar bisa digugurkan?
Caranya adalah dengan bertaubat secara khusus, memohon ampun kepada Allah atas dosa tersebut. Sebagaimana Allah telah menunjukkan hal ini dalam Al-Quran,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَرندْخالْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلُيامخًلْكُم
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami termasuk kamu ke tempat yang mulia (surga) . (QS. An-Nisa: 31).
Dengan akan berakhirnya Ramadhan, semoga Allah mengampuni seluruh dosa kita, aamiin yaa rabbal alamiin.