Kata syariat yang sering kita dengar dalam keseharian baik ketika membaca buku, mendengar rekaman ceramah para ustadz, menyimak pengajian, kultum, ataupun khutbah adalah kata berbahasa arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online (KBBI daring), syariat adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Bentuk kata tidak bakunya: sarengat, sariat, sereat, syariah.
Sebagai sebuah khas agama, istilah syariat selalu identik dengan teologi Islam. Seperti kalimat, Al-Quran adalah sumber pertama dari syariat Islam. Meskipun sebenarnya istilah ini sudah ada sejak sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, namun di lingkungan masyarakat Indonesia istilah syariat lebih populer identik dengan Islam.
1. Pengertian Syariah Islamiyah
Secara etimologi Syariat berasal dari kata dasar sya-ra-‘a (– يَشْرعُ - شَرَعَ) yang artinya memulai, mengawali, memasuki, memahami. Atau diartikan juga dengan membuat peraturan, undang-undang, syariat. Syar’un (شَرْع) dan syir’atan (شِرْعَة) memiliki arti yang sama: ajaran, undang-undang, hukum, piagam.
Ibnu Manzhur berkata: “Syari’at, syara’, dan musyarra’ah adalah tempat-tempat di mana air mengalir turun ke dalamnya. Syir’ah dan syari’ah dalam percakapan bangsa Arab memiliki pengertian syir’atul ma’, yaitu sumber air, tempat berkumpulnya air, yang didatangi manusia lalu mereka meminum airnya dan mengambil airnya untuk minum…. Bangsa Arab tidak menamakan tempat-tempat berkumpulnya air tersebut syari’at sampai air tersebut banyak, terus mengalir tiada putusnya, jelas dan bening, dan airnya diambil tanpa perlu menggunakan tali.” (Lisanul ‘Arab, 8/174)
Masih dalam tinjauan etimologi, syariat juga diartikan dengan mazhab atau ath-Thariqah al-Mustaqimah: metode yang lurus. (Al-Mukhtar min Shihhatil Lughah, 265; Al-Madkhal li Dirasati asy-Syari’ah, Abdul Karim Zaidan, 38)
Ternyata, kata syariat juga terdapat dalam al-Quran. Dalam al-Quran, kata syariat baik berbentuk kata kerja (verb), kata benda, ataupun kata sifat terdapat dalam beberapa ayat.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu)…” (QS. Al-Jatsiyah(45): 18)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu…” (QS. Asy-Syura (42): 13
Secara Terminologi, Kata syariat merupakan suatu ajaran/aturan yang mengikat dalam masyarakat/umat yang mengabdi hanya kepada Allah SWT. Seperti dalam beberapa ayat berikut ini :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maidah (5): 48)
إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا
“…ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu…” (QS. Al-A’raf (7): 163)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syura (42): 21)
Dalam khazanah ilmiah Islam, para Ulama mendefinisikan istilah syariat Islam dengan kalimat yang cukup beragam. Imam Al-Qurthubi mendefinisikan syariat Islam sebagai agama yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 19/154)
Ibnu Taimiyah mendefinisikan syariat Islam sebagai menaati Allah, menaati Rasul-Nya, dan para pemimpin dari kalangan kita (orang-orang beriman). Pada hakekatnya syariat adalah menaati para rasul dan berada di bawah ketaatan kepada mereka. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 19/309)
Imam Ibnu Atsir Al-Jazari menitikberatkan definisi Syara’ dan syariat kepada agama yang Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya, yaitu agama yang Allah tetapkan bagi mereka dan Allah wajibkan atas diri mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 2/460)
Sementara Dr. Umar bin Sulaiman Al-Asyqar mengungkapkan definisi yang lebih rinci bahwa syariat adalah hukum-hukum yang Allah tetapkan di dalam kitab-Nya atau datang kepada kita melalui jalan rasul-Nya di dalam sunnah beliau, tidak ada bedanya apakah hukum-hukum tersebut dalam bidang akidah, amal, ataupun akhlak.” (Al-Madkhal ila Asy-Syari’ah wa Al-Fiqh Al-Islami, 14)
Doktor Athiyah Fayyadh dalam tulisannya yang berjudul Kaidah dan Neraca dalam Memahami Syariat dan Filsafatnya membagi terminologi syariat ke dalam dua definisi. Menurut Athiyah Fayyadh, dari segi makna umum, syariat adalah seluruh hukum-hukum yang dibebankan Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya yang telah dijelaskan kepada mereka dalam wahyu-Nya dan oleh lisan rasul-Nya. Definisi ini beliau simpulkan melalui hasil penelitian (Istiqra’) terhadap beberapa definisi yang telah dijelaskan oleh para Ulama seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Manna’ Qathan, dan Abdul Karim Zaidan.
Keluasan cakupan definisi syariat yang menjangkau seluruh aktivitas manusia (akidah, moral, ibadah, pekerjaan, politik, hukum, kekuasaan, dan warisan atau pemberian) ini mengindikasikan bahwa syariat itu adalah sempurna dan dengan sumber yang sudah jelas-jelas valid; firman Allah ‘azza wajalla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, Syaikh Abdul Karim Zaidan menyebut syariat sebagai padanan dari kata al-Millah dan kata ad-Diin. Hukum-hukum yang disyariatkan Allah ‘azza wajalla adalah sebagai syariat dari segi sumber, deskripsi, dan kelurusannya, dan disebut ad-Diin dari segi kepada siapa ketundukan dan peribadatan ditujukan, dan disebut al-Millah dari segi perintah pelaksanaannya bagi manusia.
Sebagian ulama menggunakan istilah syariat secara lebih khusus yang hanya mencakup makna sebagian saja dari hukum-hukum syar’i karena sebab dan kebutuhan tertentu.
Ada ulama yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah akidah (al-Aqidah) sehingga dalam konteks tersebut definisi syariat bergeser sedikit menjadi hukum-hukum fisik (al-Ahkam al-‘Amaliyah) dan definisi akidah menjadi persoalan-persoalan keyakinan (al-I’tiqad) dan iman (al-Iman).
Contoh penggunaan definisi ini adalah nama kitab yang ditulis oleh syaikh Syaltut, “Al-Islam ‘Aqidatan wa syari’atan”. Dalam buku tersebut, Syaikh Syaltut mendefinisikan syariat sebagai aturan (nidzam) yang disyariatkan oleh Allah ‘azza wajalla sebagai sebuah aturan untuk dirinya dalam merawat hubungan antara diri manusia dengan Rabbnya, hubungan manusia dengan saudara sesama muslim, hubungan manusia dengan sesama manusia (non-muslim), hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan.
Selain itu, ada pula yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah fikih (Al-Fiqh) sehingga dalam konteks ini syariat didefinisikan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah ‘azza wajalla, sementara fikih bermakna hukum hasil ijtihad para mujtahid. Definisi seperti ini digunakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah (Asy-Syar’u al-Mu’awwalu).
Istilah syariat juga digunakan oleh sebagian ulama dalam definisi sebagai hukum-hukum yang sumbernya adalah wahyu, ketika istilah syariat ini dihadapkan dengan istilah Qanun dimana dalam konteks ini Qanun didefinisikan sebagai hukum-hukum yang dibuat oleh manusia dan diterapkan untuk diri mereka pula.
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (19/309) menjabarkan dengan kalimat yang cukup menarik tentang hakikat syariat,
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَخْرُجَ عَنْ الشَّرِيعَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِهِ بَلْ كُلُّ مَا يَصْلُحُ لَهُ فَهُوَ فِي الشَّرْعِ مِنْ أُصُولِهِ وَفُرُوعِهِ وَأَحْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ وَسِيَاسَتِهِ وَمُعَامَلَتِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
“Manusia tidak lepas dari syariat dalam urusan apapun sepanjang kehidupannya, bahkan setiap hal yang mengantarkannya kepada kebaikan semua ada dalam syariat. Mulai dari perkara ushul, perkara furu’, persoalan kehidupan, pekerjaan, politik, muamalah, dan lainnya.” (Shodiq/dakwah.id)
2. Penyempurnaan Syariah Islamiyah penyempurnaan syariah samawiyyah sebelumnya.
a. Seluruh syariah samawiyah ditinjau dari aspek aqidah, dasar pokok ibadah akhlak memiliki konsep ajaran yang sama (identikal )
Ajaran yang dibawa oleh para nabi dan Rasul mulai nabi Adam AS sampai dengan nabi Muhammad SAW memiliki konsep yang sama yaitu hanya menyembah Allah SWT dan tidak mempersekutukan dengan yang lain. Allah hanya satu-satunya Tuhan yang disembah oleh manusia.
Ketika Adam diutus oleh Allah dimuka bumi tujannya hanya satu yaitu menjadikan manusia sebagai khalifatulloh ( QS : 2: 30 ) sehingga manusia hanya menghadapkan segala persoalan kehidupan hanya kepada Allah saja karena itulah fitrahnya manusia. ( QS : 30 : 30 )
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “
Ketika manusia berada dalam alam ruh, maka Allah SWT mempersaksikan bahwa Allah hanya Rob satu-satunya bagi manusia, hal ini diingatkan oleh Allah agar di hari kiamat manusia tidak menyesal. ( QS : 7 : 172 )
Maka Allah SWT mengutus para Rasul sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada manusia agar tidak ada lagi alasan untuk membantah/mengingkari syariat Islamiyah. ( QS : 4; 165) dan para nabi diberikan kitab dan hikmah dan diambil persaksian oleh Allah SWT jika ada rasul terakhit yang diutus mereka membenarkannya ( QS : 3: 81 )
Tugas para nabi dan Rasul yaitu mengajak manusia untuk menyembah kepada Allah saja. Kisah kaum Nuh, Hud, Shaleh ( QS. 11:25,26,50,61,84) dan berdakwah agar manusia senanatiasa mengerjakan yang ma’ruf dan menjauhkan diri dari yang munkar. Kisah kaum luth, Musa dan Isa.(QS 7; 81,103 ; QS 3;49)
Dan Allah utus Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi yang menyempurnakan seluruh ajaran para Nabi dan Rasul sebelumnya dengan menurunkan Al Qur’an sebagi peringatan bagi seluruh manusia ( QS : 25 : 1)
Ketika Rasulullah berdakwah kepada kaum Quraisy maka beliau banyak mendapatkan pertentangan karena ajaran/syariat yang dibawa bertentangan dengan agama yang dianut pada saat itu yaitu penyembahan terhadap berhala. Maka Rasulullah memproklamasikan dirinya sebagai utusan Allah yang diutus bukan hanya kepada bangsa arab saja tetapi kepada seluruh manusia. Sesuai dengan firman Allah :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٥٨)
“Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” ( QS 7 : 158)
2. Syariah samawiyah ditinjau dari aspek hukum, tiap para nabi dan rasul berbeda-beda, sesuai dengan tingkat budaya dan kondisi lokal bangsa/kaumnya
Allah SWT mengutus para Nabi dan rasul sesuai dengan keadaan umat pada saat itu seperti Nabi Musa berhadapan dengan Umat yang pandai dalam sihir, Nabi Isa berhadapan dengan umat yang pandai dalam dunia pengobatan, dan Nabi Muhammad berhadapan dengan Umat yang pandai dalam syair. Dan Nabi Muhammad diutus sebagai penyempurna ajaran Islam dan penutup para Nabi
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. ( QS : 33 : 40 )
Syariat Islam yang dibawa para nabi dan Rasul bukan hanya sebagai peringatan saja akan tetapi secara lebih luas mengatur aspek kehidupan manusia. Ia merupakan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia yang mempunyai nafsu keinginan yang tak terbatas tidak akan bisa tentram jika jika tidak ada sesuatu yang mengaturnya. Kehidupan manusia ini adalah sebagai kelompok dimana satu sama lain saling membutuhkan saling melengkapi. Oleh karena itu harus adanya peraturan supaya bisa berjalan kemaslahatan bersama. Syariah datang sebagai hukum untuk mentertibkan kehidupan ini yang tujuannya tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Hukum yang sifatnya berubah adalah hukum yang disepakati oleh manusia untuk memudahkan setiap individu didalam aktivitasnya dan sebagai peraturan yang umum. Umat bisa dikatakan seperti bayi, dalam artian tidak bisa diberi makan sekaligus. Harus bertahap sedikit demi sedikit . begitu juga syariah, tidak diturunkan jika tidak sesuai dengan kehidupan karena fungsinya adalah untuk memudahkan dalam kehidupan ini. ( QS : 3 : 64 )
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (٦٤)
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
Perbedaan syariah samawi dan Manusia. Syariah samawi adalah: sekumpulan perintah Tuhan, larangan, dan petunjuk-petunjukNya, yang berisi tentang hukum-hukum untuk seluruh umat manusia dengan perantara Nabi sebagai utusanNya. Sebagai balasannya adalah pahala bagi orang yang mengamalkannya dan siksa bagi orang yang melanggarnya.
Hukum Manusia adalah peraturan dari orang yang berwenang atas dasar kesepakatan yang disetujui untuk diamalkan. Perbedaan dari keduanya dapat dilihat sebagai berikut:
1. Syariah untuk membentuk setiap individu menjadi lebih baik. Hukum Manusia adalah kewajiban setiap individu dengan sesamanya.
2. Syariah memrintahkan kebaikan den mencegah kemungkaran, hukum Manusia mencegah dari kerusakan mengajak kepada kebaikan tapi tidak secara hakiki.
3. Syariah adalah semata-mata sebagai penghambaan kepada tuhannya, hokum Manusia hanya taat dengan peraturan dengn konskwensi hukuman dari kepala pemerintahan.
4. Syariah berhubungan dengan batin artinya sangat lekat dengan niat, adapun hukum manusia sifatnya hanya diluar saja hanya sebatas tidak merugikan orang lain.
5. Syariah hukum yang dibuat oleh Allah. Hukum Manusia dibuat oleh seorang kepala atas dasar kesepakatan.
6. Hukum Manusia terkadang mencangkup dengan hukum syariat tapi Syariat tidak pernah mencangkup dengan hukum Manusia.
Manusia yang beriman akan mengikuti perintah Allah dan Rasulnya, sedangkan manusia yang kafir dia lebih cinta terhadap dunia dan melupakan kehidupan akhirat ( QS : 87 : 14 – 19 )
Keadaan Arab sebelum datangnya Islam. Mereka hidup tanpa ada peraturan kehidupan sangat kacau ada sebagian yang masih mengikuti syariatnya nabi Ismail. Tetapi sedikkiit sekali. Hukum yang ada pada saat itu seperti nyawa dibayar dengan nyawa.
Dan hukum yang sangat berhubungan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku. Hukum yang ada pada saat itu sangat lemah sekali karena hanya orang-orang yang mempunyai kekuasaan dapat bebas dari segala bentuk hukum, sebalikanya bagi orang lemah sangat merugikan yaitu keadaan pada saat itu kesyirikan dan ketidak aturan sosial.
Dalam fase makkah ini syariah Islamiyah lebih mengedepankan keesaan Tuhan dan akhlakul karimah. Sedangkan hukum muamalah masih mengikuti hukum quraisy pada saat itu. Sehingga bisa dikatakan hukum muamalah bisa berubah sesuai dengan kondisi zaman yang sedang dihadapi.
Kemudian fase madinah pada fase ini syariah lebih mengedepankan hukum-hukum muamalah seperti politik, pemerintahan, perdagangan, HAM dan lain-lain. Sehingga bisa dilihat pada fase madinah penerapan syariah lebih kompleks. Kemudian terjadi pergeseran pada fase sahabat karena untuk menyesuaikan kondisi pada saat itu.
Kesimpulannya Syariah Islam yang berhubungan dengan keesaan Tuhan tidak bisa dirubah ataupun berubah. Semua harus sesuai dengan nash-nash dalil ada dalam Al-qur’an dan Hadist. Yang kedua Syariah Islam yang sifatnya muamalah hubungan antara manusia dengan yang lainnya dalam hal ini Syariah bisa berubah untuk menyesuaikan kondisi dan situasi pada masa yang dihadapinya.
Jadi tidak bisa dikatakan penetapan hukum-hukum syariah yang bersifat muamalah harus sesuai dengan masa-masa kenabian ataupun harus sesuai dengan masa sahabat. Akan tetapi Syariah yang bersifat muamalah harus diterapkan sesuai dengan kebutuhan yang sedang dihadapinya dengan asas kemaslahatan bersama.
Maka ketika perintah Allah turun melalui lisaan para nabi dan rasul maka akan menjelma menjadi sebuah aturan/hukum yang harus ditaati seperti Allah haramkan makanan yang berupa bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah, mengundi nasib. ( QS : 5 : 3)
Allah menurunkan syariat berupa Al-Qur’an yang membenarkan kitab-kitab terdahulu dan membawa kebenaran dan sebagai dasar hokum bagi manusia dalam memutuskan segala urusannya. ( QS : 5 : 48 )