TA'RIF AQIDAH

 

A. Pengantar

Islam adalah Dien yang Haq (benar). Hal ini sebagaimana Allah SWT katakan di dalam QS. 3 : 19. 

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (١٩)

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

Dien Islam merupakan sebuah system yang di dalamnya mencakup keseluruhan aspek kehidupan. Bahkan Abu A’la Al Maududi dalam bukunya Dasar-Dasar Islam mendefisinikan Dien Islam sebagai system yang membuat manusia mengakui hanya Allah saja yang menjadi pemilik kemuliaan yang tidak bersujud di hadapan siapapun kecuali Allah. Dengan kata lain, bila seseorang menghambakan dan menghinakan diri kepada seseorang yang dianggap sebagai pemerintah/ pemimpinnya, maka hal itu berarti orang tersebut telah menerima diennya dan hal ini disebut dien yang bathil. Dikarenakan status Dien Islam sebagai Al Haq (kebenaran), maka Allah SWT mengutus setiap RasulNya untuk memenangkan/ men-dzohirkan di atas Dien yang lain (QS.61:9). 

Dan barangsiapa mencari/ menggunakan system selain Islam, maka sekali-kali tidaklah Allah  SWT terima dan mereka termasuk orang-orang yang merugi (QS.3 : 85). Oleh karena itu, bergabungnya seseorang kedalam Al Islam merupakan suatu kenikmatan yang besar yang harus dijaga karena ini merupakan bagian dari petunjuk/ hidayah Allah SWT (QS. 6 : 125, QS.39 : 22).

Hal yang membedakan antara Dienul Islam dengan dien yang lainnya adalah keberadaan “ikatan” yang haq hanya kepada Allah SWT saja. Ikatan ini seringkali diistilahkan sebagai “Aqidah Islamiyah”.

B. Definisi Aqidah

Secara etimologis (asal kata/ lughah) aqidah berasal dari kata ‘aqada – ya’qidu – ‘aqdan – ‘aqidatan yang berarti simpul/ ikatan, keyakinan, kokoh, kuat. Hal ini sebagaimana tertera di dalam QS. 4:33; QS. 5:1 dan 89. 

Adapun secara terminologis (istilah) aqidah berarti keyakinan yang kokoh akan sesuatu, tanpa ada keraguan (Al Mu’jam Al Washith 2/614). Jika keyakinan tersebut sesuai dengan realitas yang ada maka akidah tersebut benar, namun jika tidak sesuai maka akidah tersebut bathil.  Adapun aqidah Islamiyah adalah keyakinan yang mengandung ketentuan-ketentuan yang mengikat dan menjadi suatu pedoman dan kendali bagi langkah-langkah yang akan dilakukan seseorang dalam lingkup ad dien-al Islam.

Pada hakekatnya, setiap manusia yang lahir ke dunia sudah dalam kondisi ter-ikat. Ikatan  telah hadir sejak di masa awal terbentuknya manusia di alam ruh. Saat di alam ruh dan sebelum dilahirkan ke dunia, Allah SWT telah mengikat dan meminta persaksian dari setiap anak manusia, “Apakah Aku ini Rabb-mu?”, maka setiap ruh menjawab “ Syahidna/ Aku bersaksi” (QS.7:172). Hal inilah yang menyebabkan setiap bayi yang lahir ke dunia dalam kondisi fitrah (suci), kemudian orangtua/lingkungan lah yang menjadikan sebagai nasrani, yahudi atau majusi. Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW berikut, 

Dari Anas radhiallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

*كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.* فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَرَأَيْتَ لَوْ مَاتَ قَبْلَ ذلِكَ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: *اللهُ اَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ*

"Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka ibu bapaknya yang menjadikan agamanya yahudi atau nasrani atau majusi. Maka ada orang yang bertanya: Ya Rasulullah, apa pendapat engkau tentang orang yang meninggal sebelum itu? Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: Allah lebih mengetahui tentang apa yang mereka kerjakan". (Muttafaq 'alaih)

C. Kaitan Aqidah dengan Tauhid

Aqidah Islamiyah mendasarkan ikatannya hanya kepada Allah SWT saja. Konsepsi ini seringkali diistilahkan sebagai Tauhid. Dengan kata lain, di dalam aqidah Islamiyah terkandung ikatan yang hanya menge-Esakan Allah SWT sebagai Ilah (Ilahiyah) , Rabb (Rububiyah) maupun Mulk (Mulkiyah) serta meniadakan yang lain (thaghut). 

Ikatan ini (aqidah Islamiyah) merupakan jaminan akan hadirnya rahmat Allah SWT. Layaknya seseorang yang bekerja di sebuah institusi maka diperlukan adanya kontrak kerja di awal, sebelum orang tersebut menjalankan tugas-tugasnya dan mendapatkan hak gajinya di akhir bulan. 

Jika diibaratkan dengan hal tersebut, maka kontrak kerja dapat dianalogikan sebagai ikatan aqidah, sedangkan tugas pekerjaan dianalogikan sebagai amal ibadah yang merupakan konsekuensi dari adanya ikatan. Adapun gaji di akhir bulan diibaratkan sebagai rahmat Allah SWT. Saat seseorang bekerja namun tidak diawali dengan kontrak, apakah ia layak untuk menuntut gaji di akhir bulan? Begitupula dengan orang yang melakukan banyak ibadah dan amal kebaikan, ketika didasarkan pada ikatan yang haq, apakah layak ia mengharap kasih sayang Allah SWT?  

Mengingat sakralnya aqidah Islamiyah dan merupakan jaminan dari rahmat Allah SWT, maka ikatan ini layak dijaga baik-baik. Bila ada seseorang yang dengan kesadarannya menganggap ada mahluk yang layak disembah selain Allah SWT, atau ada mahluk yang dijadikan tempat bergantung maupun memimpin dunia bukan dengan aturan Allah SWT, maka artinya ia telah melanggar “ikatan”-nya. Ampunan Allah SWT tidak akan diberikan kepada siapapun yang telah melanggar ikatan dengan Nya sebagaimana dikatakan di dalam Al Quran,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).

D. Tauhid merupakan Misi Setiap Nabi

Meski setiap anak manusia telah lahir dalam kondisi ter-ikat dengan persaksian yang diucapkan di alam ruh, namun pada kenyataannya ketika di dunia, orangtua dan lingkungan banyak mempengaruhi eksistensi ikatan ini. Oleh karena itu, Allah SWT mengutus Nabi dan RasulNya ke dunia untuk mengingatkan kembali kepada umat manusia akan ikatan tersebut.

Sejatinya misi diutusnya setiap Nabi dan Rasul ke muka bumi ialah untuk menyeru manusia agar menjaga ikatan sucinya. Sebagaimana firman Allah SWT,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُ ۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ  

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. (QS. An Nahl : 36)

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya : 25)

Setiap manusia pun telah Allah SWT karuniakan pengelihatan, pendengaran dan hati untuk memahami dan menerima dakwah ini. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi manusia kelak di akherat untuk menyanggah akan ikatan ini. 

Bagi manusia yang bersedia untuk menerima dakwah tersebut maka ditandai dengan kalimat persaksian atau dikenal dengan syahadat “ Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang layak disembah selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Kalimat inilah yang menghantarkan manusia memasuki bangunan Islam (Dienul Islam). Setelah memasukinya, barulah seseorang diajak untuk menegakkan rukun-rukun Islam, seperti solat, shaum, zakat, dsb.

E. Kedudukan Aqidah dan Statusnya dalam Dienul Islam

Aqidah merupakan hak Allah SWT yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Allah SWT sendiri membuat perumpamaan tentang kedudukan aqidah seperti pondasi pada bangunan sebagaimana tercantum di dalam Al Quran,

اَفَمَنْ اَسَّسَ بُنْيَانَهٗ عَلٰى تَقْوٰى مِنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ اَمْ مَّنْ اَسَّسَ بُنْيَانَهٗ عَلٰى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهٖ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid) atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan(-Nya) itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah : 109)

Kedudukan aqidah dalam Islam pun Allah SWT ibaratkan seperti akar dari pohon sebagaimana tercantum dalam Al Quran,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (٢٤) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٥)وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (٢٦)

 “Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (QS. Ibrahim :24-26)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aqidah statusnya menjadi syarat sahnya suatu amal perbuatan manusia. Bila tidak dilandasi ikatan ini, maka amal manusia tidaklah diterima sebagaimana tercantum dalam Al Quran,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)

 “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi : 110)

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (٦٥)

“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (QS. Zumar : 65)