Fungsi Kepemimpinan sebagai Penyaksi

Peran dan Fungsi Kepemimpinan Sebagai Syahid Terhadap Perihidup Manusia

Qiyadah Islamiyah peran dan fungsinya secara relegius sebagai "Syahid", penyaksi di dunia terhadap manusia akan keimanan dan kekufurannya. Dan juga di hari berbangkit diberi peran sebagai "Syahid",

 إِنَّآ أَرْسَلْنَٰكَ شَٰهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا  لِّتُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”  (Qs. Al Fath 48:8-9)

لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِۖ

“... agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.”  (Qs AL Hajj 22:78)

وَنَزَعْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍ شَهِيْدًا فَقُلْنَا هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ فَعَلِمُوْٓا اَنَّ الْحَقَّ لِلّٰهِ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ 

“Dan Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, lalu Kami katakan, “Kemukakanlah bukti kebenaranmu,” maka tahulah mereka bahwa yang hak (kebenaran) itu milik Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulu mereka ada-adakan. " (28:75)

وَيَوْمَ نَبْعَثُ مِنْ كُلِّ اُمَّةٍ شَهِيْدًا ثُمَّ لَا يُؤْذَنُ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُوْنَ - ٨٤

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat, kemudian tidak diizinkan kepada orang yang kafir (untuk membela diri) dan tidak (pula) dibolehkan memohon ampunan. " (16:84)


Hal ini yang kita pahami dari kesaksian Isa Ibnu Maryam di hadapan Alloh akan Keberadaan pengikut-pengikutnya, seperti yang diterangkan dalam Al-Qur'an:

مَا قُلْتُ لَهُمْ اِلَّا مَآ اَمَرْتَنِيْ بِهٖٓ اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۚوَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا مَّا دُمْتُ فِيْهِمْ ۚ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِيْ كُنْتَ اَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ ۗوَاَنْتَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ - ١١٧

“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu”. (Qs5:117)

Nabi Ibrahim berkata:

رَبِّ اِنَّهُنَّ اَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِۚ فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَاِنَّهٗ مِنِّيْۚ وَمَنْ عَصَانِيْ فَاِنَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ - ٣٦

“Ya Tuhan, berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia. Barangsiapa mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku, dan barang-siapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (14:36)

Berkenaan dengan Qs Al Hajj ayat 78, di dalam Tafsir Ath Thabari disebutkan bahwa Takwil firman Allah yaitu "Supaya rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia:, Maksudnya adalah Allah memilih kalian dan menyebut kalian orang-orang muslim, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dari umat Muhammad, agar Muhammad Rasulullah SAW menjadi saksi bagi kalian pada Hari Kiamat bahwa beliau telah menyampaikan risalah kepada kalian, dan agar kalian menjadi saksi-saksi pada waktu itu terhadap semua rasul, bahwa mereka telah menyampaikan risalah kepada umat masing-masing.

Ketika menafsirkan ayat ini, pengarang Fi Zhilalil QUran mengatakan, "Jadi, Rasulullah menjadi saksi atas umat ini, membatasi manhaj dan idiologinya, dan menetapkan mana yang benar dan mana yang salah. Umat ini pun menjadi saksi atas seluruh manusia seperti Rasulullah itu. 

Umat inilah yang menjadi pengoreksi atas manusia setelah nabinya. Umat inilah yang diwajibkan untuk menilai manusia dengan standar-standar syariatnya, tarbiyahnya dan pemikirannya tentang alam semesta dan kehidupan. Dan fungsi yang mulia itu tidak mungkin terjamin dan terjadi, tanpa rasa aman atas manhajnya yang saling berhubungan jaringan-jaringannya dan dipilih dari Allah.

Umat ini akan terus memegang wasiat dan amanat itu semala ia berpegang kepada manhaj Ilahi dan diterapkannya dalam kehidupan yang nyata. Dan, bila ia menyimpang dari manhajnya dan berpaling dari beban-beban taklifnya, maka Allah pun menurunkan fungsinya dari pemimpin seluruh umat menjadi satus pengikut umat lain, di bagian ekor kafilah.. Umat ini akan tetap demikian selamanya hingga ia mau kembali kepada amanat yang dipilih Allah untuknya.”

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan tentang kata "Supaya rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia“, Ibnu Katsir menyebutkan, "Yaitu Kami menjadikan kalian seperti itu sebagai umat yang wasath (pertengahan), adil, terpilih, dan menjadi saksi bagi seluruh umat dengan keadilan kalian agar pada hari kiamat, kalian menjadi "saksi bagi seluruh manusia". Karena pada waktu itu seluruh umat menjakui kepemimpinan dan keutamaan mereka dibandingkan dengan umat yang lain. Untuk itu, persaksian mereka diterima pada hari Kiamat, yaitu tetang menyataan bahwa para Rasul telah menyampaikan risalah Rabb mereka. Rasul (Muhammad saw) punmenjadi saksi atas umat ini bahwa dia telah menyampaikannya kepada mereka. Masalah ini telah dibahas terdahulu dalam Qs Al Baqarah 2:143)

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ - ١٤٣

"Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia." (Qs Al Baqarah 2:143)

Ayat terakhir yang dikutip oleh Ibnu Katsir untuk menafsirkan Qs Al Hajj ayat 78 yaitu Qs Al Baqarah 2:143  ini secara singkat menjelaskan betapa beratnya untuk menaati kepemimpinan itu, bahkan terhadap Rasulullah saja mereka bisa ragu-ragu dan membangkan.

Perpindahan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram di Makkah, merupakan ujian menampakkan kejelasan antara orang-orang beriman dan orang-orang yang menunafik.


“Orang-orang yang kurang akalnya (Sufaha`) diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS Al-Baqarah [2]: 142).


Dalam Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini : ''Yang dimaksud dengan sufaha` ialah kaum musyrik Arab, para pendeta Yahudi, dan seluruh kaum munafiq, sebab ayat itu bersifat umum. Dahulu Rasulullah SAW disuruh menghadap ke Baitul Maqdis. Di Makkah, beliau shalat di antara rukun Yamani dan rukun Syami sehingga Ka'bah berada dihadapannya, namun beliau menghadap ke Baitul Maqdis. 

Proses ibadah shalat itu terus terjadi dan umat Islam generasi awal kenabian juga melakukannya, menyandarkan wajah atau tubuh ke Baitul Maqdis.

Setelah beliau hijrah ke Madinah, semuanya keberatan untuk menyatukan keduanya. Maka Allah menyuruhnya menghadap ke Baitul Maqdis. Pandangan itu dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama.

Kemudian mereka berselisih, apakah perintah itu melalui Alquran atau melalui yang lainnya? Para ulama terbagi atas dua pandangan. Ikrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan Bashri berpendapat bahwa menghadap Baitul Maqdis adalah hasil ijtihad Nabi saw.

Maksudnya ialah bahwa menghadap ke Baitul Maqdis dilakukan setelah Nabi saw tiba di Madinah. Hal itu berlangsung selama 10 bulan. Beliau banyak berdoa dan memohon kepada Allah agar disuruh menghadap ke Ka'bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim AS. 

Sahabat Nabi Muhammad, Ibnu Abbas menceritakan bagaimana  Nabi SAW setiap hari berdoa agar diberi petunjuk dari Allah terkait kiblat ini.

Ibnus Abbas berkisah, apabila telah salam dari salatnya yang menghadap ke arah Baitul Maqdis, beliau selalu menengadahkan kepalanya ke langit dan minta petunjuk.

Akhirnya harapan Nabi Muhammad ini dikabulkan Allah melalui firman-Nya dalam Surat Al Baqarah ayat 144 tentang keharusan umat Islam menghadap kiblat saat Salat maupun ibadah lainnya. 

Artinya;”Sungguh kami melihat wajahmu menengadah ke langit. Maka kami sungguh akan memalingkan wajahmu ke arah kiblat yang kamu sukai. Maka palingkan wajahmu ke arah Masjid al-Haram dan di mana pun kamu berada. (QS. Al Baqarah: 144).

Maka Allah SWt mengabulkan doanya dan memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menghadap ke Ka'bah. Maka Nabi memberitahukan hal itu kepada Khalayak.

Shalat pertama yang menghadap Ka'bah adalah shalat ashar, sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain, dari hadis al-Barra` RA. (137), "Sesungguhnya Rasulullah saw shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan. Beliau merasa heran kalau kiblatnya adalah Baitul Maqdis, sebelum Ka'bah. Shalat pertama menghadap Ka'bah adalah shalat ashar. Beliau shalat bersama orang-orang.

Lalu, salah seorang jamaah keluar dari masjid dan menuju para penghuni masjid lainnya yang ternyata sedang ruku`. Dia berkata, Aku bersaksi dengan nama Allah, Aku benar-benar telah mendirikan shalat bersama Nabi saw sambil menghadap ke Makkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah". Menurut Nasa'i, shalat itu ialah shalat zuhur di masjid Bani Salamah.

Dalam hadis Nuwailah binti Muslim dikatakan, "Bahwa sampai kepada mereka berita mengenai peralihan kiblat ketika mereka tengah shalat zuhur. Nuwailah berkata, "Maka jamaah laki-laki bertukar tempat dengan jamaah perempuan (untuk menyesuaikan posisi)."

Namun berita itu baru sampai kepada penduduk Quba pada saat shalat fajar. Maka datanglah seorang utusan kepada mereka. Dia berkata, "Sesungguhnya pada malam ini telah diturunkan Alquran kepada Rasulullah saw. Allah menyuruh untuk menghadap Ka'bah, maka menghadaplah kamu kesana. Pada saat itu, wajah mereka menghadap ke Syiria. Maka mereka pun berputar menghadap Kabah.

Tatkala ini terjadi, timbullah keraguan pada sebagian kaum musyrik, munafiqin, dan ahli kitab. Bahkan, mereka melakukan penyimpangan dari petunjuk, membungkam dan meragukan kejadian tersebut.

Mereka berkata, "Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?" Yakni, apa yang telah membuat mereka kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan kadang-kadang berkiblat ke Ka'bah?

"Katakanlah, Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, yakni kepunyaan Allahlah segala persoalan itu, "Maka kemanapun kamu menghadap, maka disanalah wajah Allah." (QS Al-Baqarah [2]: 142).

Proses pemindahan ini kiblat umat Islam ini terjadi pada bulan Sya'ban, kira-kira pada bulan ke-16 atau 17 usai hijrah pertama Umat Islam. Dari Masjidil Aqsa menuju Kakbah di Masjidil Haram, Mekah.