Kata tasyri’ berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar (verbal noun) dari kata kerja syara’a yang berarti membuat syari’ah.
Adapun syari’ah secara etimologi digunakan untuk menyatakan arti-arti berikut:
a. At-tariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus),
b. Maurid as-syaribah (air mengalir yang biasa digunakan untuk minum), sebagaimana ucapan orang Arab (unta itu tengah pergi mencari tempat air).
c. Al-‘utbah (lekuk liku lembah).
d. Al-‘atabah (ambang pintu dan tangga).
Sedangkan secara terminologi pengertian syari’ah adalah sebagai berikut:
a. Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya di dalam Al Quran dan Sunna.
b. Apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik dalam bidang keyakinan (‘i’tiqadiyyah), perbuatan, maupun akhlak.
c. Peraturan yang telah ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan atau dikenal dengan ilmu tauhid dan ilmu kalam, ‘amaliyyah (perbuatan) yang dikenal dengan fiqih, dan tasawwuf atau akhlak.
Dari pengertian syari’ah di atas, maka secara terminologi, tasyri’ adalah: Penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan penyusunan perundang-undangan.
Sederhananya, syariat adalah aturannya, sedangkan tasyri adalah proses penetapan aturannya.
Tasyri’ merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan fiqih atau peraturan perundang-undangan, karena dalam mengkaji dasar-dasar fiqih yakni al-Qur’an dan Sunnah, tentunya kita akan mengkaji pula proses pembentukannya, disamping itu kajian tentang langkah-langkah ijtihad ‘ulama’ pun menjadi bagian yang tak terpisahkan.
---
Tasyri’ juga dikaitkan dengan fiqih ( ). Fiqih secara bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Secara istilah fiqih diartikan sebagai pengetahuan atau kumpulan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci.10 Jadi, fiqih adalah hukum yang berasal dari hasil ijtihad para ‘ulama.
Tasyri juga dikaitkan dengan fatwa. Fatwa ( ) berarti nasihat, jawaban atau pendapat. Secara istilah fatwa berarti sebuah keputusan yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya atau memiliki otoritas, disampaikan oleh seorang ulama (mufti), sebagai jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan kata lain fatwa merupakan produk hukum sebagai jawaban dari pertanyaan terkini.
Adapun yang dimaksud dengan tasyri’ dalam penelitian ini lebih mengarah kepada qanun ( ) yakni hukum yang telah dikodifikasikan dan disahkan pemberlakuannya oleh negara dan pemerintah. Dengan demikian istilah tasyri sangat terkait dengan negara (daulah), boleh dikatakan tasyri tidak bisa dilaksanakan kecuali dalam institusi daulah karena hanya daulah yang memiliki legalitas, otoritas dan kekuasaan untuk melaksanakan tasyri dan penegakan hukum islam.
Adapun dasar hukum tasyri’ adalah al-Qur’an sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-ayat berikut:
a. Surat al-Maidah ayat 48 :
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. 11
b. Surat al-Jaziyyah ayat 18 :
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.12
c. Surat as-Syura ayat 13 :
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh.13
d. Surat as-Syura ayat 21 :
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? 14
e. Surat al-An’am ayat 57 :
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. 15
f. Surat at-Taubah ayat 122 :
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.
Klasifikasi Tasyri
- Dari segi sejarah (lihat buku Manna al Qahthan)
- Dari segi subjek penetapan hukumnya (lihat buku At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, abdul qadir audah) yaitu tasyri samawi dan wadhai
- dari segi produk hukum manusia yaitu fiqih, fatwa, qadha dan qanun
*
Penggunaan kata tasyri' dalam istilah berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah SAW dan berakhir hingga Rasul wafat. Dalam perkembangannya, para ulama kemudian memperluas pembahasan tasyri'. Bahasan tasyri' mencakup pula dinamika perkembangan fikih Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam.
Tarikh tasyri adalah “sejarah” pembentukan syariah, disini ditulis dalam tanda petik karena ada perbedaan pengertian, satu sisi ada yang berpendapat bahwa syariah sudah selesai pada masa rasulullah, sementara ada pula yang berpendapat bahwa syariah itu tetap berkembang khususnya sampai masa kegemilangan fiqih.
Oleh karena itu, studi dan kajian terkait sejarah perkembangan tasyri', mengutip kitab Tarikh Tasyri' al-Islami karya Syekh Manna' al-Qatthan, dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hingga periode para ulama-ulama fikih pada era klasik. Sebagian peneliti, bahkan mencantumkan dinamika masa kini sebagai tasyri'.
Secara umum, ada beberapa periode tasyri', pertama, masa Rasulullah. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Alquran dan sunah.
Kedua, masa keempat Khalifah hingga pertengahan abad pertama Hijriah. Sepeninggal Rasul, para sahabat menghadapi banyak permasalahan akibat beragam faktor, antara lain, perluasan wilayah Islam dan persinggungan dengan budaya atau tradisi lain.
Persoalan ini dikembalikan kepada Alquran dan sunah. Piranti ijtihad juga menjadi rujukan untuk menjawab realita di lapangan yang belum tersentuh oleh kedua sumber utama itu.
Di periode ketiga, tepatnya pada pertengahan abad pertama Hijriah sampai awal abad kedua Hijriah, disebut sebagai masa pertama pembentukan fikih Islam. Generasi sahabat yang berpencar di berbagai daerah memunculkan sejumlah tokoh dan pakar di bidang fikih.
Periode keempat merupakan masa kegemilangan fikih. Pada masa ini, geliat studi dan ijtihad fikih berjalan dinamis. Muncul beragam mazhab fikih, seperti keempat mazhab terkemuka yang masih bertahaan hingga sekarang, yaitu mazhab Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafii.
*
Jika merujuk pada subjek penetapan hukumnya para ulama membagi tasyri' menjadi dua, yakni tasyri' samawi (ilahi) yaitu otoritas hukumnya dari Allah Swt dan tasyri' wadh'i (insani) yaitu otoritas hukumnya dari ijtihad manusia.
Tasyri' samawi adalah penetapan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah Swt dan Rasul-Nya melalui alQuran maupun sunnah. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat absolut (tidak berubah), karena tidak ada yang berkompeten untuk mengubahnya kecuali Allah Swt. dan RasulNya. Untuk tasyri jenis pertama ini adalah setiap aturan atau undang-undang yang langsung dibuat oleh Allah melalui ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi saw. Jadi produk tasyri jenis pertama ini adalah Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Sedangkan tasyri' wadh'i adalah penetapan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid, produk hukum hasil keahlian para mujtahid tersebut menjadi relativ atau nisbi, berubah-ubah sesuai dengan ruang dan waktu manusia. Tasyri jenis kedua adalah aturan-aturan atau undang-undang yang dibuat oleh manusia yang memiliki otoritas, otoritas dan kualifikasi dengan cara mengistinbahtkan hukum dari Al Quran dan Sunnah. Jadi produk tasyri jenis kedua ini adalah fiqih, fatwa, qadha dan qanun.
Fiqih dan fatwa merupakan produk individual ulama sedangkan qadhan qanun merupakan produk kelembagaan, khususnya kelembagaan negara. Qadha adalah produk peradilan dari lembaga yudikatif (shulthah qadhaiyah), sedangkan qanun adalah produk konstitusional dari lembaga legislatif (shulthah tasyri’iyah). Di luar itu juga ada aturan yang dibuat oleh lembaga eksekutif (shulthah tanfidziah) yang sangat luas ruang lingkupnya mulai dari peraturan lapis terendah sampai lapis tertinggi yaitu keputusan kepala negara, ketetapan kepala negara yang dikenal dengan Imam atau Imam A’zham.
Keunggulan Tasyri Samawi
‘Abdul Qadir ‘Audah dalam bukunya “Al-Tasyri’ Al-Jina-i fi Al-Islam” (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa keunggulan syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di antaranya:
1. Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.
"Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12).
"Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52).
"Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115).
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).
2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya mempertimbangkan ‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman. "Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).
3. Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman.
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Al-Anbiya: 107). "Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu". (Al-Maidah: 3).
4. Hukum wadh’i hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i kehilangan kekuasaannya atas jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan hukum.
Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah Ta’ala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum.
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". (An-Nisa: 93)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا. البخاري ومسلم
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi (padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara langsung. Namun hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain. Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral.
Hukum wadh’i tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara langsung dalam konteks fisik dan keamanan.
Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang memabukkan.
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk". (Al-Isra: 32).
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)". (Al-Maidah: 90-91)