Mengenal Bahaya Riba

 


A. PENGERTIAN RIBA

A.1 ETIMOLOGI (BAHASA)

Menurut etimologi, riba berarti tambahan.

• Dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata riba diambil dari kata رَبَا. Jika seseorang berkata رَبَا الشَّيْئُ يَرْبُوْ رَبْوًا وَرَبًا artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Jika orang menyatakan أَرْبَيـْتُهُ artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.

• Menurut bahasa, riba memiliki pengertian kelebihan, bertambah, berkembang, atau menggelembung.

Contoh penggunaan kata riba di beberapa ayat Alquran

وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ – ٥…

Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah. (Q.S 22:5)

 وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ ۚ

وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (Q.S.16:92)


Akar kata ربو yang menjadi sumber kata rib, digunakan dalam Alquran sebanyak dua puluh kali (QS. al-Baqarah [2]:265, 275, 276, 278; Ali Imran [3]:130; al-Nisa [4]:161; al-Ra‟d [13]:17; al-Nahl [16]: 92; al-Isra [17]:24; al-Hajj [22]:5; 23:50; 26:18; 30:39; 41:39; 69:10).

Dari dua puluh itu, istilah riba digunakan delapan kali (QS. al-Baqarah [2]: 275, 276, 278; Ali Imran [3]:130; al-Nisa‟ [4]:161; 30:39).

Akar kata ربو dalam Alquran memiliki makna:

a. tumbuh (QS. al-Hajj 22:5)

b. menyuburkan (QS. al-Baqarah [2]:276; 30:39)

c. mengembang (QS. al-Ra„d [13]:17)

d. mengasuh (QS. al-Isra [17]:24; 26:18

e. menjadi besar dan banyak (QS. al-Nahl [16]:92).

f. akar kata ini juga digunakan dalam arti “dataran tinggi‟ (QS. al-Baqarah [2]: 265; 23:50). 

Penggunaan-penggunaan tersebut tampak secara umum memiliki satu makna, yaitu bertambah, dalam arti kuantitas maupun kualitas


A.2 RIBA YANG TIDAK HARAM

Seseorang memberikan hadiah kepada orang lain, dengan harapan ada timbal balik (tambahan) dari orang yang diberi tersebut, seperti dijelaskan oleh Allah dalam Q.S 30:39

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, AdhDhahhak, Qatadah, Ikrimah, Muhammad bin Kaab, dan Asy Syabi, “Sikap demikian dibolehkan (tidak haram), sekalipun tidak ada pahala.  Akan tetapi, Rasulullah SAW melarangnya secara khusus”

Pembahasan kali ini, bukan mengenai riba tersebut.


A.3 TERMINOLOGI (ISTILAH)

Syaikh Muhammad Abduh:

Riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang ditentukan

Ibnu Katsir:

Riba adalah menolong atau  membantu, namun mencari keuntungan di balik pertolongan tersebut bahkan mencekik dan menghisap darah. (tafsir Surah Al-Baqarah 275-279)

Riba menurut syariat adalah tambahan pada hal-hal tertentu dan tambahan atas nilai pokok hutang sebagai imbalan dari tambahan batas waktu secara mutlak.


A.4 RIBA MENURUT AGAMA YAHUDI

Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah melarang mereka–yaitu kaum Yahudi–dari praktek riba. Namun mereka tetap saja melakukannya dan mengakalinya dengan berbagai macam bentuk trik dan perilaku syubhat. Mereka juga memakan harta orang lain dengan cara yang batil.”

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S 4:161)

Yahudi memalingkan nash yang mengharamkan riba, karena mereka hanya membatasi pengharaman tersebut hanya untuk muamalah di antara sesama Yahudi saja. Adapun untuk muamalat antara orang Yahudi dengan selain Yahudi dengan riba, menurut mereka boleh dan tidak apa-apa. 

Salah seorang pendeta Yahudi bernama Rabi berkata, “Ketika orang Nasrani memerlukan uang satu dirham, orang Yahudi harus menguasainya dari segala penjuru dan menambahkan riba yang buruk di atas riba yang buruk, hingga melelahkan si Nasrani dan membuatnya tidak mampu membayar hutang tersebut. Selama ia tidak melepaskan aset aset miliknya atau hingga pokok hutang bersama bunganya, senilai dengan seluruh aset-aset milik si Nasrani. Saat itulah, si Yahudi mampu menguasai orang yang berhutang. Dan dengan bantuan hakim, si Yahudi mampu menguasai seluruh aset-aset milik si Nasrani.” (Ar-Ribâ wa Atsâruhu ‘alal Mujtama’ Al-Insâni, Dr. Umar bin Sulaiman Al Asyqar, hal: 31.)


A.5 RIBA PADA MASA JAHILIYAH

Penambahan nilai hutang karena penangguhan waktu pembayaran.

Imam Ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dalam Tafsirnya, dari Mujahid, ia berkata, “Pada masa jahiliyah, seseorang memiliki hutang pada orang lain, lalu orang yang berhutang berkata kepada si pemberi hutang, ‘Kau mendapatkan sekian dan sekian, asalkan kau memberikan tangguhan waktu untukku,’ lalu ia diberi tangguhan waktu pembayaran hutang.’” (Jâmi’ Al-Bayân fi Tafsiril Qur`ân, Ath-Thabari (III/67).)

Penambahan umur ternak karena penangguhan waktu pembayaran.

Ketika seseorang memiliki tambahan hutang pada orang lain, ia mendatangi si penghutang tersebut ketika telah jatuh tempo pembayaran, lalu berkata kepadanya, “Bayarlah hutangmu, atau tambahilah uangku.” 

Apabila si penghutang punya uang untuk membayar hutang, ia membayar hutangnya. Jika si penghutang tidak punya uang untuk membayar hutang, maka si pemberi hutang mengubah hutangnya menjadi hewan ternak dengan usia di atas usia hewan ternak yang dihutang oleh si penghutang. 

Misalkan, si penghutang menghutang bintu makhadh (unta berusia satu tahun, masuk tahun kedua), maka hutang berupa unta tersebut diubah menjadi bintu labun (unta berusia dua tahun, masuk tahun ketiga). 

Ketika si pemberi hutang datang menemui si penghutang pada tahun ke dua, dan si penghutang tidak juga mampu membayar hutangnya, maka hutang berupa unta tersebut diubah menjadi unta hiqqah (unta berusia genap tiga tahun, memasuki tahun keempat). 

Selanjutnya, ketika si pemberi hutang mendatangi si penghutang pada tahun ketiga di akhir batas tempo pembayaran hutang, lalu si penghutang tidak mampu membayar, maka hutang unta tersebut diubah menjadi unta jadz’ah (unta genap berusia empat tahun, memasuki tahun kelima). Begitu seterusnya, hingga hutang kian menumpuk bagi si penghutang.

Pelipatgandaan nilai hutang

Misalkan, si pemberi hutang datang menemui si penghutang. Jika si penghutang tidak memiliki nilai uang untuk membayar hutang, si pemberi hutang melipatgandakan nilai hutangnya pada tahun berikutnya. Jika pada tahun berikutnya si penghutang tidak bisa membayar, maka nilai hutang dilipatgandakan lagi.  Begitu seterusnya, sampai si penghutang membayar hutangnya.

Riba di masa jahiliyah dianggap sebagai salah satu keuntungan yang menghasilkan bagi pemilik modal. Tidak peduli apa pun yang dialami orang yang berhutang, apakah ia mendapat untung ataupun rugi, tertimpa kemiskinan ataukah yang lain. Yang penting, ia mendapatkan uang dalam jumlah besar, meski harus membinasakan orang lain. 

Sikap dan tindakan seperti ini tidak lain disebabkan karena buruknya praktek jahiliyah, rusaknya akhlak mereka, dan terjadinya perubahan pada fitrah di mana sesuai fitrah itulah, Allah menciptakan mereka. 

Mereka berada ditengah-tengah masyarakat yang banyak menyebar kekacauan, kehinaan, dan sikap tidak menghargai orang lain; yang kecil tidak menghormati yang besar, yang kaya tidak mengasihi yang miskin, yang besar tidak menyayangi yang kecil. Mereka terombang-ambing dalam kesesatan.


B. MACAM-MACAM RIBA

B.1 RIBA KARENA JUAL BELI

Riba ini terjadi pada jual beli 6 barang ribawi : Emas, perak, gandum, syair (sejenis gandum halus), kurma, garam.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim no. 1584).

Berdasarkan hadits tersebut, ulama mengelompokkan menjadi 2:

1. Emas dan Perak: diqiyaskan untuk kelompok mata uang dan semua alat tukar

2. Gandum, sya’ir, kurma, garam: diqiyaskan untuk kelompok bahan makanan pokok


B.1.1 Riba Fadhl

Riba fadhl adalah tambahan yang ada pada pertukaran barang ribawi dengan barang sejenis

Contoh: Uang sejumlah 1 dinar ditukar dengan uang sejumlah 2 dinar.  Gandum sebanyak 100kg ditukar dengan gandum sebanyak 110kg.


B.1.2 Riba Nasi’ah

Riba nasi`ah adalah penundaan penerimaan barang dalam transaksi barang ribawi sejenis (maupun berbeda jenis).  Riba nasi’ah sebenarnya merupakan tipudaya yang pada awalnya diniatkan untuk menghindari riba fadhl.

Contoh: Barang sejenis: Menukar uang Rp100.000, dengan uang Rp50.000+Rp20.000 sementara sisanya (Rp30.000) baru dibayar besok

Barang berbeda jenis: Misalkan membeli emas 1 gram seharga Rp1 juta.  Jika ada penyerahan yang tertunda (baik emasnya maupun uangnya), maka termasuk riba nasiah.


B.2 RIBA KARENA HUTANG PIUTANG

Riba ini biasa disebut riba Qard, yaitu adanya penambahan (riba) pada pembayaran hutang sebagai imbalan tempo pengembalian hutang.  Riba (tambahan)-nya bisa di muka (pembayaran) maupun di akhir (pelunasan). Sebagian ulama masih memasukkan riba Qard ke dalam kelompok riba Nasi’ah.