Ramadhan adalah bulan yang paling ditunggu setiap kaum muslimin. Ramadhan merupakan bulan pelatihan (riyadhoh) yang disediakan dalam Syari’at Islam untuk menggapai kondisi jiwa yang disebut dengan Taqwa.
Memang inti bulan Ramadhan adalah berpuasa (shiyam), tetapi didalamnya terdapat sekian banyak ibadan dan ‘amaliyah yang bisa menghantarkan kita kepada jiwa wiqoyah (kesiapan) untuk selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ayat Al Qur’an yang berbicara tentang puasa Ramadhan adalah Qs. Al Baqarah : 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٨٣)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Qs Al Baqarah 2:183)
Perintah puasa pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang beriman. Al Qur’an menjelaskan salah satu pengertian orang beriman melalui Qs. Al Hujurat : 14-15. “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ada perbedaan antara ‘aslamna’ dengan ‘amanna’. Seseorang baru bisa disebut dengan ‘amanna’, atau telah masuk iman ke dalam hatinya, jika ia beriman sepenuhnya kepada Allah dan Rasul-nya, ia tidak ragu dengan keimanannya itu serta berjuang dengan harta dan jiwa pada jalan Allah SWT. Jadi ukuran keimanan menurut ayat ini adalah keimanan tanpa ada rasa ragu sedikitpun kepada Allah dan Rasul-Nya dan jihad dengan harta dan jiwa.
Setelah objek dari syariat puasa ditegaskan oleh Allah SWT, kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa syariat puasa telah pula diwajibkan kepada ummat-ummat terdahulu. Puasa merupakan syariat para Nabi dan Rasul. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari setiap bulan, sampai hal itu dinasakh (dihapus) dengan puasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan.
Kata yang dipergunakan dalam Qs. Al Baqarah : 183 yaitu كُتِبَ Kata ini dalam Al Qur’an hanya disebutkan pada lima tempat, dan semua terdapat pada surat Al Baqarah yaitu ayat 178, 180, 183, 216 dan 246. Ayat 178 menyebutkan kewajiban melaksanakan qishash (hukum balas), ayat 180 menyebutkan kewajiban berwasiat jika sudah datang tanda-tanda kematian, ayat 216 dan 246 menyebutkan kewajiban berperang.
Jika diperhatikan dengan seksama perintah Allah SWT pada ayat-ayat tersebut, nampak jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut (puasa, perang, qishash dan wasiat) tidak dilaksanakan secara fardhiyah tetapi dilaksanakan secara jam’iyah (institusional). Jika dilaksanakan secara fardhiyah, pelaksanaan kewajiban tersebut tidak akan mencapai kesempurnaan ibadah, atau paling tidak kebersamaan dan kesatuan ummat Islam (tauhidul ummah) tidak akan nampak dalam masyarakat.
Rasulullah SAW telah menggariskan berbagai ketentuan berkenaan dengan syariat puasa. Diantaranya beberapa hadits menyebutkan keutamaan puasa di bulan Ramadhan sebagai berikut. Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda :
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (perhitungan) maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu’ (HR Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ إِلَى الصَّلَاةِ الَّتِي بَعْدَهَا كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا قَالَ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَالشَّهْرُ إِلَى الشَّهْرِ يَعْنِي رَمَضَانَ إِلَى رَمَضَانَ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا قَالَ ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ قَالَ فَعَرَفْتُ أَنَّ ذَلِكَ الْأَمْرَ حَدَثَ إِلَّا مِنْ الْإِشْرَاكِ بِاللهِ وَنَكْثِ الصَّفْقَةِ وَتَرْكِ السُّنَّةِقَالَ أَمَّا نَكْثُ الصَّفْقَةِ أَنْ تُبَايِعَ رَجُلًا ثُمَّ تُخَالِفَ إِلَيْهِ تُقَاتِلُهُ بِسَيْفِكَ وَأَمَّا تَرْكُ السُّنَّةِ فَالْخُرُوجُ مِنْ الْجَمَاعَةِ
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Shalat maktubah (wajib) hingga shalat wajib setelahnya adalah penghapus dosa antara keduanya", beliau juga bersabda: "dan dari Jum'at hingga Jum'at, Ramadhan hingga Ramadhan adalah penghapus dosa antara keduanya." Dia berkata; setelah itu beliau melanjutkan sabdanya: "Kecuali dari tiga dosa." Dia berkata; "maka akupun mengetahui bahwa hal itu berlaku kecuali dari dosa menyekutukan Allah, melepaskan jabatan tangan, dan meninggalkan sunnah." Dia berkata; "Adapun melepaskan jabatan tangan ialah jika kamu membai'at seseorang kemudian kamu menyelisihinya dan membunuhnya dengan pedangmu. Dan adapun meninggalkan sunnah ialah keluar dari Jama'ah." (HR Ahmad No. 6832)
Bulan Ramadhan memiliki banyak kemuliaan. Allah SWT menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia, sebagai syifaa’ (obat) bagi penyakit-penyakit ruhani kaum muslimin, sebagai furqon (pembeda) antara al-haq dan al-bahtil, yaitu pada malam lailatul Qadr, suatu malam di bulan Ramadhan.
Allah SWT berfirman :“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil…”. (Qs Al Baqarah : 183)
Sifat bulan Ramadhan adalah sebagai bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an dan kalimat sesudahnya dengan huruf fa () yang menyatakan illat dan sebab : Barang siapa yang melihatnya hendaklah berpuasa”. Memberikan isyarat illat (penjelasan sebab) yakni dipilihnya Ramadhan adalah karena bulan tersebut adalah bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an.
Oleh karena itu ‘amaliyah membaca, mengkaji, belajar dan mengajarkan Al Qur’an sangat diutamakan pada bulan ini. Bahkan malam diturunkanya Al Qur’an yaitu lailatul qadr disebutkan oleh Allah SWT nilainya sama dengan seribu bulan. Sehingga Rasulullah SAW mensyariatkan dilaksanakannya I’tikaf (berdiam diri) di satu tempat untuk semata beribadah kepada-Nya untuk meraih nilai-nilai dan keutamaan malam tersebut.
Tujuan puasa adalah untuk mencapai jiwa Taqwa. Taqwa pada dasarnya berarti menjaga diri dari hal-hal yang dibenci, kata taqwa berasal dari kata اَلْوِقَايَة (penjagaan). Diceritakan bahwa Umar bin Khattab RA pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai taqwa, maka Ubay bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau pernah melewati jalan yang berduri ?” Umar menjawab : “Ya”. Ia bertanya lagi, “Lalu apa yang engkau kerjakan ?” Umar menjawab : “Aku berusaha keras dan bekerja sungguh-sungguh untuk menghindarinya.” Kemudian Ubar menjawab : “Yang demikian itu adalah taqwa”.
Berpijak kepada jawaban Ubai ini Sayid Qutub berkata dalam tafsirnya Fi Zhilali Qur’an : “Itulah taqwa, kepekaan bathin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan ... jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti ... dan masih banyak duri-duri yang lainnya.”
Al Qur’an menjelaskan bahwa taqwa adalah sebaik-baik bekal (Qs. 2:197), terhadap ayat ini Sayyid Qutb memberikan penafsiran sebagai berikut : “Inilah bekal dan persiapan perjalanan ... bekal ketaqwaan yang selalu menggugah hati dan membuatnya selalu terjaga, waspada, hati-hati serta selalu dalam konsentrasi penuh ... bekal cahaya yang menerawangi liku-liku perjalanan sepanjang mata memandang. Orang bertaqwa tidak akan tertipu oleh bayangan semu yang menghalangi pandangannya yang jelas dan benar ... itulah bekal penghapus segala kesalahan, bekal yang menjanjikan kedamaian dan ketentraman, bekal yang membawa harapan atas kurnia Allah, disaat bekal-bekal lain sudah sirna dan semua amal tak lagi berguna.
Itulah akikat kebenaran, taqwa kepada Allah menumbuhkan furqon dalam hati. Furqon yang bisa menyingkap jalan kehidupan. Namun hakikat ini hanya bisa difahami oleh mereka yang benar-benar sudah merasakannya. Bagaimanapun indahnya kata-kata dipakai untuk melukiskan hakikat ini, tetap saja tak akan mampu memberikan pemahaman yang sebenarnya kepada yang belum mampu merasakannya.”
Taqwa juga diartikan dengan “takut kepada Allah” khasyyatillah yang ini dibuktikan dengan “menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya dan menjalankan hal-hal yang diperintah-Nya”. Takut disini bukan takut biasa tetapi takut dalam konteks eskatologis, yiaitu khasyiya. Pengertian ini dapat dilihat dari Qs. 21/48-49, bahwa yang disebut dengan muttaqin adalah :
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَهُمْ مِنَ السَّاعَةِ مُشْفِقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.” (Qs. 21/49)