Dalam literatur, istilah kepemimpinan dalam Islam meliputi: imam, khalifah, amir, wali dan shulthan. Tetapi apapun sebutannya, maknanya adalah satu yaitu yang memerintah dengan syari’at Allah dan sunnah Nabi-Nya.
Pada bahasan kali ini kita akan mengkaji kepemimpinan dalam dimensi teologis (aspek keyakinan). Secara istilah, “Teologi” adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama dan berhubungan dengan Tuhan. Artinya berkaitan dengan keimanan seseorang terhadap Tuhannya.
Pada materi ini akan disampaikan bahwa keta’atan terhadap Qiyadah/Kepemimpinan dalam Islam adalah salah satu unsur keyakinan/keimanan yang sangat fundamental/mendasar bagi seorang mukmin.
Kepemimpinan dalam komunitas masyarakat ibarat kepala bagi tubuh. Ia adalah simbol kekuatan, keharmonisan, dan kesatuan shaf. Maka menta’ati qiyadah bagi seorang mukmin adalah keniscayaan/ kepastian, adalah harga mati. Sungguh tidak bisa dibayangkan sebuah jama’ah tanpa ada keta’atan kepada qiyadah. Karena bagaimana qiyadah tsb mampu mewujudkan tujuan jama’ah tanpa keta’atan dari setiap mukmin pembangunnya?
Tentu saja setiap mukmin memiliki opini pribadi, kecenderungan diri, dan ketidakpuasan hati. Tapi sudah semestinya semua itu dilebur saat berhadapan dengan keputusan qiyadah, karena kaidahnya adalah “hukmul qaadhi yarfa’ul khilaaf” (keputusan hakim menuntaskan perbedaan).
Dalam pepatah arab dikatakan “Kullu marhalatin ar-rijaluha”, di setiap tingkatan (jaman) pastilah ada laki-laki pelaku sejarah-nya. Yang dimaksud adalah setiap masa itu ada generasinya atau secara spesifik kita sebut “kader”, kader itu harus mengetahui medan dan mempunyai keahlian spesifik agar bisa menyelesaikan permasalahan di masanya sehingga akan mewarnai masa itu dengan warna yang jelas dan menjadi penggerak pada masanya itu.
Pada setiap masa pasti terdapat kelompok-kelompok atau orang-orang yang berbeda-beda aliran dan pandangan hidupnya, berbeda-beda kecenderungan dan perilakunya. Maka diantara mereka ada orang-orang yang saleh dan adapula yang tidak saleh.
Perhatian Ilahi selalu mengiringi mereka berupa ujian-ujian. Yakni kadang dengan kemakmuran dan kesempitan, kadang dengan kesukaan dan kedukaan, dan kadang dengan kesehatan dan penyakit, supaya mereka kembali kepada jalan Allah, kembali kepada kebenaran dan istiqomah di jalan yang lurus.
وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الأرْضِ أُمَمًا مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (QS. Al A’raf (7): 168)
Harus kita pahami bahwa pengiringan dengan cobaan itu merupakan rahmat Allah kepada hamba-Nya, merupakan peringatan yang terus-menerus kepada mereka, dan untuk menjaga mereka dari kelalaian yang dapat menghantarkan kepada kelemahan dan kebinasaan.
Kita lihat fakta saat ini, berapa banyak orang yang belajar agama tetapi hati mereka jauh darinya. Mereka mempelajarinya hanya untuk mencari-cari takwilnya dan menyiasatinya. Mereka mencari-cari jalan keluar untuk mendapatkan fatwa-fatwa yang cocok dengan tujuan mereka untuk mendapatkan kekayaan dunia.
Bahkan sebagian dari mereka telah paham dengan apa yang dipelajarinya tapi justru menentangnya. Bukankah yang membahayakan agama itu adalah orang-orang yang mempelajarinya tetapi tidak mau mengambil akidahnya serta tidak mau bertaqwa dan tidak takut kepada Allah.
Hal ini sudah digambarkan Allah melalui generasi dari kaum Nabi Musa bahwa mereka mewarisi Taurat dan mempelajarinya, namun hati dan perilaku mereka tidak terkesan dan terpengaruh terhadap kitab tersebut. Selalu berulangkali jika mereka melihat kekayan dunia mereka segera memperebutkannya dan dengan gampangnya mereka mengatakan “Kami akan diberi ampun”.
فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٞ وَرِثُواْ ٱلۡكِتَٰبَ يَأۡخُذُونَ عَرَضَ هَٰذَا ٱلۡأَدۡنَىٰ وَيَقُولُونَ سَيُغۡفَرُ لَنَا وَإِن يَأۡتِهِمۡ عَرَضٞ مِّثۡلُهُۥ يَأۡخُذُوهُۚ أَلَمۡ يُؤۡخَذۡ عَلَيۡهِم مِّيثَٰقُ ٱلۡكِتَٰبِ أَن لَّا يَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّ وَدَرَسُواْ مَا فِيهِۗ ........ ١٦٩
“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. ………… (QS. Al A’raf (7): 169)
Mereka akan senantiasa kembali kepada harta benda dunia, padahal mereka sudah mempelajari kitab Taurat dan sudah mengetahui isinya. Kecuali bagi orang-orang yang bertaqwa, tidak ada yang dapat meneguhkan hati didalam menghadapi perubahan-perubahan dan peristiwa-peristiwa dalam samudera kehidupan yang bergelombang dan dalam peperangan yang besar ini kecuali keyakinan terhadap akhirat.
وَٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ١٦٩
“Dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (QS. Al A’raf (7): 169)
Negeri akhirat ini adalah salah satu dari perkara ghaib yang para penyeru “sosialisme ilmiah” hendak menanggalkannya dari hati kita, akidah kita, dan kehidupan kita. Mereka terus menjajakan persepsinya yang kafir, jahil, dan gelap yang mereka sebut dengan istilah “ilmiah”. Sehingga berkobarlah api kerusakan, kerakusan, suap-menyuap, penyakit tidak peduli, pengkhianatan, dan pelanggaran lainnya.
Kalau akal dan ilmu yang benar yang mengambil keputusan, bukan hawa nafsu, niscaya dia akan menetapkan bahwa negeri akhirat itu lebih baik daripada kekayaan yang rendah nilainya. Sudah tentu taqwa akan dijadikan bekal dalam kehidupan beragama dan kehidupan dunia sekaligus.
وَٱلَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِٱلۡكِتَٰبِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُصۡلِحِينَ
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al A’raf (7): 170)
Ini adalah sindiran terhadap orang-orang yang telah diambil perjanjian Kitab Taurat atas mereka dan mereka telah mempelajari isinya. Kemudian mereka tidak berpegang pada Kitab tersebut, tidak mengamalkan, tidak menjadikan pedoman dalam berpikir dan bergerak, dan di dalam perilaku dan kehidupan mereka. Hal ini juga berlaku sindiran yang bersifat mutlak meliputi semua generasi dan keadaan.
Sesungguhnya inilah manhaj Robbani, yang berpegang teguh dalam menegakkan hukum atas dasar Al Kitab dan menegakkan hati atas landasan ibadah.
Sesuai dengan ayat 168 Surah Al A’raf (7) bahwa Allah membagi golongan atau generasi diantaranya ada orang-orang saleh dan yang selainnya. Termasuk generasi pilihan yaitu dari para nabi dan Rasul.
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
58. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Qs Maryam 19:58)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (Qs Maryam 19:59)
Setelah mereka datanglah generasi yang jauh dari Allah. Generasi yang menyia-nyiakan shalat, meninggalkan dan mengingkarinya. Juga generasi yang memperturutkan hawa nafsunya dan tenggelam didalamnya. Betapa jauh garis perbedaan diantara keduanya. Dari sinilah ayat tadi memberikan ancaman keras kepada generasi yang menyimpang dari jalan generasi mereka yang saleh. Mengancamnya dengan kesesatan dan kebinasaan.
Tetapi Allah masih memberikan kesempatan kepada mereka yang menyimpang dengan dibukanya pintu taubat yang selebar-lebarnya yang menampung didalamnya sifat-sifat rahmat, kelembutan, dan kenikmatan.
إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَأُوْلَٰٓئِكَ يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ وَلَا يُظۡلَمُونَ شَيۡٔٗا ٦٠
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun”. (QS. Maryam (19): 60)
Setelah Allah menggambarkan bergiliran dan berulangannya pergantian generasi-generasi dari para Nabi dan Rasul terdahulu beserta para pengikutnya maka giliran Allah memberikan gambaran shiroh dan janji kepada Muhammad Rasulullah dan ummat pengikutnya yang beriman dan beramal saleh. Janji itu berupa khilafah dan kekuasaan di muka bumi, kekokohan dan keteguhan agama yang diridlai bagi mereka, dan ketakutan mereka diganti dengan keamanan. Janji Allah pasti benar, janji Allah pasti terjadi, Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ ..... ٥٥
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka.” (QS. Nuur (24): 55)
Hakikat iman itu adalah ketaatan kepada Allah dan penyerahan diri secara total baik dalam perkara kecil maupun besar. Tidak tersisa lagi hawa nafsu dan syahwat di hati, penyimpangan dalam fitrah, melainkan semuanya tunduk kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah dari sisi Allah. Semua aktivitas dan perilaku diarahkan hanya kepada Allah sebagai jalan menuju khilafah, kekuasaan, keteguhan, dan keamanan.
Sesungguhnya hakikat anugerah/ karunia khilafah dan kekuasaan di bumi bukan hanya anugerah kerajaan, kepemimpinan, kemenangan, dan menguasai hukum. Sesungguhnya ia adalah semua perkara itu ditambah syarat mendayagunakannya dalam perbaikan, pembangunan, dan pemakmuran.
Dan juga bertujuan agar mereka merealisasikan manhaj yang dikehendaki oleh Allah, menetapkan keadilan yang diinginkan oleh Allah, dan berjalan bersama-sama dengan manusia dengan langkah-langkah diatas jalur yang mengantarkan kepada kesempurnaan yang ditentukan ketika Allah menciptakannya.
Kekokohan Diin akan tercapai bila ia telah kokoh dalam hati, sebagaimana hal itu juga baru akan tercapai bila ia telah kokoh dalam mengatur dan mengendalikan kehidupan. Pada kondisi seperti itulah Allah menjanjikan kekuasaan kepada mereka di muka bumi.
... وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡٔٗاۚ .... ٥٥
“Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.” (QS. Nuur (24): 55)
Hal ini dialamai oleh Rasulullah dan para shahabat, mereka berada dalam ketakutan dan tidak ada rasa aman sesuai dengan kehendak Allah. Mereka selalu menyandang senjata sampai setelah hijrah Rasulullah dan para shahabat ke Madinah sebagai pusat pmerintahan Islam.
Janji Allah itu telah terealisasikan sekali, dan akan terus terealisasikan selama orang-orang yang beriman mau menjalani syarat yang ditentukan Allah yaitu “Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku”. Tetapi jika diantara mereka mengubah komitmen dengan Allah maka Dia pun mengubah keadaan mereka. Merekalah orang-orang yang keluar dari syarat Allah, janji Allah, dan sumpah denga Allah.
وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٥٥
“Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. Nuur (24): 55)
Sesungguhnya kelambatan datangnya pertolongan, kekuasaan, peneguhan, pengokohan, dan keamanan Allah disebabkan oleh tidak hadirnya syarat Allah itu dalam salah satu diantara aspek-aspeknya yang luas.
Perlu diketahui dan diingat bahwa Allah mengutus para Rasul semata karena kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya. Jika mereka berbuat baik maka itu berarti mereka berbuat baik bagi diri mereka sendiri di dunia dan akhirat. Demikian juga tampak kasih sayang-Nya dalam membiarkan hidup kelompok yang berbuat maksiat, zalim, dan musyrik, padahal Dia Maha Berkuasa untuk membinasakan mereka, lalu mendatangkan kelompok manusia yang lain untuk menggantikan mereka.
وَرَبُّكَ ٱلۡغَنِيُّ ذُو ٱلرَّحۡمَةِۚ إِن يَشَأۡ يُذۡهِبۡكُمۡ وَيَسۡتَخۡلِفۡ مِنۢ بَعۡدِكُم مَّا يَشَآءُ كَمَآ أَنشَأَكُم مِّن ذُرِّيَّةِ قَوۡمٍ ءَاخَرِينَ ١٣٣
“Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain”. (QS. Al An‘aam (6): 133)
Ini merupakan penjelasan yang kuat dan tegas bagi hati orang-orang yang zalim dari kalangan syaitan manusia dan jin, yang selalu membuat tipu daya dan aniaya, yang semena-mena membuat aturan haram dan halal, serta menyaingi syariat Allah dengan hukum yang mereka buat sendiri.
Padahal selama itu mereka ada dalam genggaman Allah, yang membiarkan mereka hidup sebagaimana Dia kehendaki. Padahal Allah juga bisa mematikan mereka kapanpun Dia mau untuk menggantikan mereka dengan generasi-generasi berikutnya yang Dia kehendaki.
Penjelasan ini juga meneguhkan, menenangkan, dan memberikan keyakinan dalam hati kalangan orang-orang yang beriman. Bahwa syaitan manusia dan jin hanyalah makhluk yang lemah dalam genggaman Allah, walau diatas muka bumi mereka berbuat semena-mena dan menciptakan nestapa bagi umat manusia. Dan Allah akan mengganti mereka dengan generasi yang lebih kuat dari generasi sebelumnya dalam melawan musuh-musuh Allah.
إِنَّ مَا تُوعَدُونَ لَأٓتٖۖ وَمَآ أَنتُم بِمُعۡجِزِينَ ١٣٤ قُلۡ يَٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمۡ إِنِّي عَامِلٞۖ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ مَن تَكُونُ لَهُۥ عَٰقِبَةُ ٱلدَّارِۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١٣٥
“Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang, dan kamu sekali-kali tidak sanggup menolaknya. Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al An‘aam (6): 133)
Allah memberikan ancaman kepada mereka yang mempertahankan kebenaran yang diyakini, padahal dibelakang keyakinan mereka adalah kesesatan dan tidak mengikuti petunjuk Allah.
*
Langkah dan pergerakan dakwah ini bukan hanya bagi golongan Islam angkatan pertama yang menerima Al Qur-an pertama kali saja yang bergerak menghadapi kejahiliyahan pada masa itu. Tetapi ia juga berlaku bagi setiap kaum muslimin yang menghadapi kejahiliyahan hingga akhir jaman. Inilah yang menjadikan Al Qur-an Kitab Dakwah Islamiyah yang abadi, dan sebagai petunjuknya dalam pergerakannya setiap saat.
Salah satu kisah yang menjadi pelajaran bagi kaum muslimin adalah kisah Nabi Huud dalam menghadapi kaumnya yang sombong dan kejam. Nabi Huud membuat garis pemisah yang tegas dengan kaumnya setelah ia menyampaikan nasehat-nasehat kepada kaumnya semampu mungkin dan sudah mencurahkan segenap kasih sayangnya kepada kaumnya semaksimal mungkin.
Namun mereka terus saja keras kepala dan menentang Allah, meremehkan ancaman-Nya, dan menunjukkan keberaniannya melawan Allah. Nabi Huud bersikap tegas karena ia sangat yakin sekali bahwa Tuhannyalah yang telah menjadikan mereka pengelola di bumi ini, dan telah memberi nikmat, harta, kekuatan, anak-anak, adalah sebagai ujian bagi mereka, bukn semata-mata pemberian.
Ia yakin bahwa Tuhannya berkuasa untuk melenyapkan mereka dan menggantinya dengan orang lain jika Dia menghendaki, sedang mereka tidak dapat memberikan kemudharatan kepada-Nya dan tidak dapat menolak keputusan-Nya.
فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقَدۡ أَبۡلَغۡتُكُم مَّآ أُرۡسِلۡتُ بِهِۦٓ إِلَيۡكُمۡۚ وَيَسۡتَخۡلِفُ رَبِّي قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ وَلَا تَضُرُّونَهُۥ شَيًۡٔاۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَفِيظٞ ٥٧
“Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu”. (QS. Huud (11): 57)
Seorang mukmin harus mendapatkan hakekat iman kepada Allah di dalam hatinya seperti Nabi Huud. Sehingga mereka bersikap dalam imannya dengan merasa lebih tinggi dan lebih luhur menghadapi kekuatan jahiliyyah di sekelilingnya dengan merasa yakin bahwa Allah lah yang memegang ubun-ubun setiap makhluk melata termasuk manusia.
Dan suatu saat juga perlu mengambil sikap memisahkan diri secara totalitas dari lingkungannya. Sehingga akan nampak umat yang tunduk patuh kepada Allah dan umat yang patuh kepada Tuhan-tuhan selain Allah dan menentang Allah. Pada saat itulah terealisasi janji Allah untuk memberikan pertolongan kepada kekasih-kekasih-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya dalam bentuk yang kadang-kadang tidak terbayang dalam hati manusia.
Selain kisah Nabi Huud, Allah kisahkan juga perjalan dakwah Nabi Musa kepada kaumnya. Ketika Nabi Musa memberikan nasehat kepada kaumnya dengan hati dan bahasa seorang Nabi. Nabi Musa memberikan nasehat kepada kaumnya bahwa mereka harus tabah dalam menghadapi ujian, bersabar atas cobaan yang menimpa mereka, dan memohon pertolongan kepada Allah untuk menghadapi semua itu.
Juga menasehati bahwa bumi ini milik Allah dan akan diwariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Sedangkan akibat yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan tidak takut kepada seorangpun selain-Nya.
قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱللَّهِ وَٱصۡبِرُوٓاْۖ إِنَّ ٱلۡأَرۡضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۖ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ ١٢٨
“Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". (QS. Al A’raaf (7): 128)
Sesungguhnya bumi adalah kepunyaan Allah, sedangkan Fir’aun dan kaumnya hanya sekedar singgah saja di bumi ini. Sedangkan Allah akan mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya sesuai dengan sunnah dan kebijaksanaan-Nya.
Maka kaum mukminin tidak boleh melihat fenomena lahiriah segala sesuatu yang dapat menimbulkan persepsi orang-orang yang memandangnya bahwa thaghut itu memiliki kekuatan yang kokoh di muka bumi dan tidak mungkin tergoyahkan. Karena pemilik dan penguasa bumi inilah yang akan menetapkan siapa yang akan dijadikan-Nya khalifah setelah diusir-Nya mereka darinya.
قَالُوٓاْ أُوذِينَا مِن قَبۡلِ أَن تَأۡتِيَنَا وَمِنۢ بَعۡدِ مَا جِئۡتَنَاۚ قَالَ عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُهۡلِكَ عَدُوَّكُمۡ وَيَسۡتَخۡلِفَكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَيَنظُرَ كَيۡفَ تَعۡمَلُونَ ١٢٩
“Kaum Musa berkata: "Kami telah ditindas (oleh Fir'aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu”. (QS. Al A’raaf (7): 129)
Bani Israil tetaplah Bani Israil, mereka selalu mengeluh bahwa ujian dan cobaan ini sudah berlangsung lama sebelum hadirnya Nabi Musa bahkan setelah Nabi Musa hadirpun ujian tersebut masih berlangsung. Tetapi Nabi Musa tetap konsisten menjalankan tugasnya.
Dia tetap mengingatkan mereka terhadap Allah, dan menggantungkan harapan mereka kepada Allah. Juga memberikan harapan kepada mereka akan hancurnya musuh-musuh mereka dan akan dijadikannya mereka sebagai khalifah di muka bumi dengan tetap menyadari bahwa kekhalifahan ini sebagai ujian. Nabi Musa terus mendororng kaumnya untuk menempuh jalan kebenaran sehingga berlakulah sunnah Allah pada mereka sebagaimana yang dikehendaki.
Musa mengajarkan bahwa dijadikannya mereka khalifah oleh Allah adalah juga sebagai ujian. Jadi bukannya mereka kekasih Allah sebagaimana anggapan mereka, yang lantas Allah tidak menyiksa mereka atas dosa mereka. Sesungguhnya hal itu adalah ujian.
Sesungguhnya tidak ada bagi kaum mukminin kecuali kepada satu tempat berlindung, yang merupakan banteng perlindungan yang aman, dan kepada satu pelindung saja, yaitu Yang Maha Pelindung lagi Maha Kuat dan Maha Kokoh.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ ٥٥
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maidah (5): 55)
Allah membatasi arah loyalitas satu-satunya bagi orang-orang yang beriman, yang sesuai dengan sifat keimanan. Dijelaskan-Nya kepada mereka mengenai kepada siapa saja yang mereka boleh memberikan kesetiaan itu. Demikianlah dibatasi loyalitas itu sehingga tidak ada lagi untuk menakwilkannya. Juga tidak ada kesempatan untuk melunturkan harakah Islamiyah.
Loyalitas itu hanya untuk Allah secara tulus, percaya kepada-Nya secara mutlak, supaya Islam itu sebagai Diin, dan supaya ada ketegasan pemisahan antara barisan muslim dengan semua barisan yang tidak menjadikan Islam sebagai Diin dan manhaj kehidupannya. Dan juga supaya harakah Islamiyah itu tetap serius dan teratur.
Sehingga loyalitas tidak boleh diberikan selain kepada satu pimpinan dan satu bendera. Juga supaya saling tolong-menolong hanya terjadi antara sesama golongan yang beriman, karena tolong-menolong ini adalah dalam persoalan manhaj yang bersumber dari akidah.
Mereka mempunyai ciri-ciri menegakkan dan mendirikan shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, menunaikan zakat (hak harta) karena taat kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan hati rela dan penuh harap, pengakuan/ ketundukkan terhadap kekuasaan Allah atas segala urusan.
وَمَن يَتَوَلَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَإِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡغَٰلِبُونَ ٥٦
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al Maidah (5): 56)
Sebagai imbalan atas kepercayaan mereka kepada-Nya, permohonan perlindungan diri mereka kepada-Nya, kesetiaan mereka kepada-Nya dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin, dan melakukan pemutusan hubungan secara total dari semua barisan kecuali barisan yang dipilih-Nya. Allah menjanjikan pertolongan dan kemenangan kepada mereka.
Allah sebagai pelindung dan penolong ditegaskan kembali oleh Allah, bahwa Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman.
ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِۗ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٥٧
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah (2): 257)
Ayat ini menggambarkan bagaimana tangan Allah (pelindung orang-orang yang beriman) membimbing tangan mereka, lalu mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada pahala. Sementara thaghut-thaghut (pelindung orang-orang kafir) menggandeng tangan mereka dan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.
Dengan iman/cahaya, seorang mukmin melakukan segala sesuatu dengan penuh ketenangan, ketentraman, kepercayaan, dan kemantapan dengan tidak ada kegoncangan padanya. Seorang mukmin senantiasa menyesuaikan gerak langkahnya dengan hukum alam disekitarnya.
Sedangkan dengan kesesatan/kegelapan, manusia akan menyimpang dari jalan Allah dan menerima jalan hidup dari selain Allah serta berpedoman kepada selain manhaj Allah. Akibat yang layak bagi orang-orang yang mengikuti jalan kegelapan adalah “Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Sedangkan kesesatan itu bermacam-macam dan beraneka ragam. Maka apalagi yang ada sesudah kebenaran kalua bukan kesesatan?